Kamis, 06 Maret 2008

DAMPAK KERUSAKAN TERUMBU KARANG

Sektor Kelautan mulai diperhatikan oleh pemerintah Indonesia dalam pembangunan sejak pelita VI rejim orde baru. Sejak kemerdekaan sampai awal pelita VI tersebut, pemerintah lebih memperhatikan eksploitasi sumberdaya daratan, karena pada masa tersebut daratan masih mempunyai potensi yang sangat besar baik sumberdaya mineral maupun sumberdaya hayati seperti hutan. Namun setelah hutan ditebang habis sedangkan sumberdaya minyak dan gas bumi sulit ditemukan didaratan pemerintah orde baru mulai berpaling kepada sektor kelautan (Budiharsono S., 2001).

Potensi Kelautan Indonesia sangat besar dan beragam yakni memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan 5,8 juta km2 laut atau 70 persen dari luas total Indonesia. Potensi tersebut tercermin dengan besarnya keanekaragaman hayati , selain potensi budidaya perikanan pantai di laut serta pariwisata bahari (Budiharsono S., 2001)..

Potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia sebesar 6.167.940 ton/tahun dengan porsi terbesar dari jenis ikan pelagis kecil (52,54 %), jenis ikan demersal (28,96 %) dan perikanan pelagis besar (15,81 %) komoditi. Selain potensi tersebut masih tersimpan potensi perikanan yang bernilai ekonomi tinggi seperti kepiting, rumput laut dan rajungan (Budiharsono S., 2001).

Potensi yang besar tersebut akan menjadi suatu kenyataan dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan bangsa Indonesia jika ekosistem pesisir dan laut tidak dirusak karena perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut serta daerah aliran sungai (DAS) yang tidak terarah, termasuk di dalamnya ekosistem terumbu karang.

Suatu kenyataan menunjukkan bahwa luasan terumbu karang di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan dan mengalami kerusakan. Kondisi ini semakin lama semakin mengkhawatirkan dan apabila keadaan ini tidak segera ditanggulangi akan membawa bencana besar bagi kehidupan biota laut dan kesejahteraan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Menurut Ministery of State for Environment (1996) dari luas terumbu karang yang ada di Indonesia sekitar 50.000 km2 diperkirakan hanya 7 % terumbu karang yang kondisinya sangat baik, 33 % baik, 46 % rusak dan 15 % lainnya kondisinya sudah kritis (Supriharyono, 2000). Kerusakan terumbu karang ini dipastikan sebagai akibat aktivitas manusia yang secara langsung dan tidak langsung, sengaja atau tidak tanpa memperhitungkan dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya.

2. Isu Utama dan Tujuan.

Dalam pengelolaan terumbu karang harus terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir secara lestari dan berkelanjutan, maka isu-isunya : (1) Kesejahteraan masyarakat pesisir pada umumnya tergolong rendah dan kebanyakan dikategorikan sebagai nelayan tradisional (2) Sering terjadi banjir dan erosi akibat lahan atas dimanfaatkan untuk areal perladangan (3) masih ditemukan penangkapan ikan dengan menggunakan potasium dan bahan peledak atau bom (4) Masih terjadinya aktivitas pengambilan karang untuk dijadikan kapur bangunan dan (5) Sering terjadinya konflik pemanfaatan ruang antara nelayan.

Dalam pengelolaan terumbu karang tidak mungkin di lepaskan dari unsur ekonomi masyarakat pesisir dengan demikian isu utama masyarakat pesisir yang terkait dengan kegiatan ekonominya adalah (1) modalnya terbatas dan tidak memiliki akses untuk mendapatkan modal luar (2) terbatasnya sarana produksi seperti benih (benur, bibit rumput laut) (3) tidak terdapatnya kelompok usaha bersama (4) Penataan ruang pesisir yang belum dilakukan dan (5) masih rendahnya ketrampilan masyarakat pesisir dalam budidaya pesisir seperti rumput laut, lobster, mutiara, ikan hias dan lain-lain.

Berdasarkan isu tersebut tulisan ini mencoba menelaah dengan menggunakan metoda mantik dan kepustakaan tentang “Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Melalui Pendekatan Agribisnis dan Agro-Industri Dalam Upaya Penanggulangan Kerusakan Terumbu Karangdengan tujuan (1) untuk mengkaji secara mantik beberapa aktivitas manusia yang berdampak negatif terhadap kerusakan terumbu karang dan produktivitas (2) mencoba memberikan alternatif skenario penanganan kerusakan terumbu karang (3) Menjelaskan pendekatan yang digunakan untuk peningkatan pendapatan masyarakat pesisir.

3. Epistemologi Terumbu Karang, Agribisnis-agroindustri

3.1. Ekosistem Terumbu Karang

Karang tergolong dalam dalam jenis mahluk hidup (hewan) yaitu sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat hewan. Terumbu karang (coral reefs) sebagai suatu ekosistem termasuk dalam organisme-organisme karang. Dawes (1981) mengatakan terumbu karang (coral reefs) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Selanjutnya Bengen D.G. (2001) menyatakan terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Coridaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae dan sedikit tambahan alga berkapur serta organisme lain yang menyereksi kalsium karbonat. Karang hermatipik (Hermatypic corals) yang bersimbiosis dengan alga melaksanakan fotosintesis, sehingga peranan cahaya sinar matahari penting sekali bagi Hermatypic corals. Hermatypic corals biasanya hidup di perairan pantai/laut yang cukup dangkal di mana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan, selain itu untuk hidup lebih baik binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 oC .

3.2. Agribisnis dan Agro-industri

Agribisnis adalah serangkaian kegiatan yang melibatkan subsistem input, subsistem produksi, subsistem pengolahan (agro-industri), subsistem pemasaran hasil dan sub sistem penunjang. Agro-industri adalah usaha yang berkaitan dengan pengolahan yang melibatkan kegiatan pengolahan, pengawetan, penyimpanan, dan pengepakan hasil pertanian khususnya hasil budidaya pesisir dan laut (Ngangi, E.L.A. 2001).

4. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang dan Produktivitas

Kerusakan ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari aktivitas manusia baik di daratan maupun pada ekosistem pesisir dan lautan. Kegiatan manusia di daratan seperti industri, pertanian, rumah tangga akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja pada perairan sungai tetapi juga pada ekosistem terumbu karang atau pesisir dan lautan. Menurut UNEP (1990) dalam Dahuri R..et al (2001) sebagian besar (80 %) bahan pencemar yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land basic activities). Sebagai contoh kegiatan pengolahan pertanian dan kehutanan (up land) yang buruk tidak saja merusak ekosistem sungai melalui banjir dan erosi tetapi juga akan menimbulkan dampak negatif pada perairan pesisir dan lautan. Melalui penggunaan pupuk anorganik dan pestisida dari tahun ke tahun yang terus mengalami peningkatan telah menimbulkan masalah besar bagi wilayah pesisir dan lautan (Supriharyono, 2000). Pada tahun 1972 penggunaan pupuk nitrogen untuk seluruh kegiatan pertanian di Indonesia tercatat sekitar 350.000,- ton, maka pada tahun 1990 jumlah tersebut meningkat menjadi 1.500.000,- ton. Total penggunaan pestisida (insektisida) pada tahun 1975 sebesar 2.000 ton, kemudian pada tahun 1984 mencapai 16.000,- ton (Dahuri R.et al. 2001).

Di pesisir dan lautan, kegiatan manusia seperti penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak, pengerukan di sekitar terubu karang, penangkapan ikan dengan bahan peledak (Bengen D.G., 2001), lalulintas pelayaran, pertambakan dan lainnya telah menimbulkan masalah besar bagi kerusakan terumbu karang. Sebagai contoh kegiatan pelayaran di Teluk Jakarta, Selat Malaka, Semarang, Surabaya, Lhokseumawe dan Balikpapan sudah memprihatinkan. Konsentrasi logam berat Hg di perairan Teluk Jakarta pada tahun 1977-1978 berkisar antara 0,002-0,35 ppm (Dahuri R.et al. 2001).

Secara rinci Bengen D.G. (2001) merinci dampak kerusakan terumbu karang sebagai akibat kegiatan manusia baik di darat maupun di pesisir dan lautan seperti terlihat pada tabel 1 (satu).

Menurut Nybakken dalam Dahuri R.et al.(2000), terumbu karang memiliki produktivitas organik yang tinggi, Stoddart (1969) dalam Supriharyono (2000) mengatakan secara biologis terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif di perairan tropis dan bahkan mungkin diseluruh ekosistem baik di laut maupun di daratan karena kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrient dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Selain itu terumbu karang yang sehat memiliki keragaman spesies penghuninya dan ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak.

Tabel 1 : Dampak Kegiatan Manusia pada Ekosistem Terumbu Karang

No.

Kegiatan

Dampak potensial

1.

Penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak

Perusakan habitat dan kematian masal hewan terumbu

2.

Pembuangan limbah panas

Meningkatnya suhu air 5-10oC di atas suhu ambien, dapat mematikan karang dan biota lainnya.

3.

Pengundulan hutan di lahan atas

Sedimen hasil erosi dapat mencapai terumbu karang di sekitar muara sungai, sehingga mengakibatkan kekeruhan yang menghambat difusi oksigen ke dalam polib.

4.

Pengerukan di sekitar terum-bu karang

Meningkatnya kekeruhan yang meng-ganggu pertumbuhan karang.

5.

Kepariwisataan

· Peningkatan suhu air karena buang-an air pendingin dari pembangkit listrik perhotelan

· Pencemaran limbah manusia yang dapat menyebabkan eutrofikasi.

· Kerusakan fisik karang karena jang-kar kapal

· Rusaknya karang oleh penyelam.

· Koleksi dan keanekaragaman biota karang menurun.

6.

Penangkapan ikan hias dengan menggunakan bahan beracun (misalnya Kalium Sianida)

Mengakibatkan ikan pingsan, memati-kan karang dan biota avertebrata.

7.

Penangkapan ikan dengan ba-han peledak

Mematikan ikan tanpa dikriminasi, karang dan biota avertebrata yang tidak bercangkang.

Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) dari kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan di daerah terumbu karang sangat tinggi. Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000), 16 % dari total hasil eksport ikan dari Indonesia berasal dari daerah karang.

Kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh aktivitas manusia harus sedapat mungkin di cegah, karena akan sangat berdampak pada terganggunya ekosistem lainnya dan menurunnya produksi ikan yang merupakan sumber protein hewani bagi kemaslahatan umat manusia. Untuk maksud tersebut masyarakat maupun stakeholders perlu diajak untuk duduk bersama dengan menyatukan visi dan misi sehingga wilayah pesisir dan lautan dapat dikelola secara terpadu dan berkelanjutan.

Visi pengelolaan terumbu karang yaitu terumbu karang merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang harus dikelola dengan bijaksana, terpadu dan berkelanjutan dengan memelihara daya dukung dan kualitas lingkungan melalui pemberdayaan masyarakat dan stakeholders (pengguna) guna memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat dan pengguna secara berkelanjutan (sustainable).

Dalam upaya untuk mewujudkan visi tersebut maka ada empat tujuan pokok (1) tujuan sosial, yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat dan stakeholders mengenai pentingnya pengelolaan terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan (2) tujuan konservasi ekologi yaitu melindungi dan memelihara ekosistem terumbu karang untuk menjamin pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan, (3) tujuan ekonomi yaitu meningkatkan pemanfaatan ekosistem terumbu karang secara efisien dan berkelanjutan untuk memperbaiki kesejateraan masyarakat dan stakeholders serta pembangunan ekonomi, (4) tujuan kelembagaan yaitu menciptakan sistem dan mekanisme kelembagaan yang profesional, efektif dan efisien dalam merencanakan dan mengelola terumbu karang secara terpadu dan optimal.

5. Skenario Penanganan Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang

Berdasarkan tujuan pengelolaan terumbu karang tersebut maka target penanganannya adalah (1) target sosial, di mana meningkatnya status kesejahteraan masyarakat dan pengguna, tingkat partisipasi masyarakat dan pengguna dalam kegiatan dan pemanfataan terumbu karang semakin meningkat, (2) target konservasi ekologi yaitu implementasi dan penegakan peraturan semakin membaik dan gerjala over-exploitation terumbu karang semakin berkurang, menurunnya sedimentasi yang berasal dari aktivitas di daratan, (3) target ekonomi, yaitu pendapatan masyarakat dan stakeholders meningkat, tingkat pengangguran semakin menurun, dan terwujudnya sistem pembagian hasil kegiatan usaha yang semakin adil (4) target kelembagaan, yaitu konflik pemanfaatan ruang antar masyarakat dan stakeholders semakin berkurang dan terbentuknya aturan yang dapat difahami, dihayati dan diamalkan oleh masyarakat dan stakeholders.

Sebenarnya akar permasalahan kerusakan terumbu karang meliputi empat hal yaitu (1) Kemiskinan masyarakat dan ketiadaan matapencaharian alternatif (2) ketidaktahuan dan ketidaksadaran masyarakat dan pengguna (3) lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan (4) kebijakan pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang. Berdasarkan akar permasalahan kerusakan terumbu karang tersebut maka secara ringkas skenario penanganannya seperti tampak pada gambar 1 (satu).

Produktivitas dalam suatu ekosistem terumbu karang dapat dibedakan antara produktivitas primer dan produktivitas sekunder. Produktivitas primer dapat diartikan sebagai kemampuan perairan untuk menghasilkan C (karbon) dan biasanya di ukur dalam satuan gram C/m2/tahun, sedangkan produktivitas skunder diartikan sebagai kemampuan suatu perairan untuk menghasilkan ikan persatuan luas perairan selama dalam waktu tertentu (Supriharyono, 2000).